Narasi Kaderisasi



Ada dua persoalan filosofis menyangkut manusia secara ontologi yang seiring waktu semakin ditinggalkan oleh manusia itu sendiri. Dua persoalan tersebut ialah, apakah sejatinya manusia itu? Lalu untuk apakah suatu kehidupan diberikan kepada manusia?


Menjawab hal ini, para filsuf terdahulu selalu membedah esensi manusia melalui sudut pandang fenomonologis sebagai sebuah pendekatan, sehingga muncul beberapa ide tentangnya yang mencoba menerangkan subtansi Manusia sebagai makhluk sosial, hewan yang berpikir, sampai pada temuan hakikat manusia sebagai subjek yang terpisah dengan objek dalam suatu keadaan yang melingkupi keduanya (realitas dan ide).


Akan tetapi, benang merah terkait esensi manusia searah dengan beberapa subtansi yang ditemukan para filsuf yakni manusia merupakan pemimpin -pemimpin yang memiliki kekuatan untuk memberi pengaruh pada lingkungan yang mampu ia jangkau, kemudian daripada itu memiliki tanggung jawab yang terikat sebagai penjaga, pelestari, pelindung, penggerak, pengembang dan pemersatu. Manusia sebagai pemimpin tentu tercipta dengan tiga jalan yang terjelaskan secara teoritis maupun historis.

Bahwa kepemimpinan itu ada yang terbawa sejak lahir, dibentuk, dan yang paling baik adalah bakat yang diasah sehingga terbentuk kepemimpinan yang diidam-idamkan oleh filsuf Plato.


Secara umum telah terafirmasi bahwa kaderisasi merupakan suatu upaya transformasi nilai-nilai keilmuan, kepemimpinan, keorganisasian, dan nilai-nilai lain yang koheren.


Dengan kata lain, kaderisasi adalah wahana alternatif yang diciptakan oleh organisasi semata-mata untuk membentuk karakter individu yang berjiwa kepemimpinan, berwawasan, kritis, dan transformatif. Kemudian dalam afirmasi definisi lain mengenai kaderisasi yang dipahami sebagai turunan dari proses pendidikan, yang mana, pendidikan itu sendiri bertujuan untuk memanusiakan manusia maka kaderisasi setidaknya berjalan di atas poros humanisme yang tertanam spirit kebebasan berpikir serta hak-hak asasi lainnya yang harus dilindungi dalam konteks konstruksi ilmu demi mencapai penemuan jati diri sebagai manusia pemimpin.

Istilah kader yang diambil dari bahasa latin, kemudian ditafsir sebagai bingkai yang membatasi kebebasan individu, bahwa kebebasan yang dilindungi itu tidaklah bermakna sebebas-bebasnya melainkan kebebasan dengan batasan tertentu (hak), bertujuan untuk menjaga kader tidak bertindak melampaui batas dan mengarah pada malapetaka. Selain itu secara semiotik, pemaknaan atas kader ialah memberikan posisi awal yang sama bagi kader-kader individu untuk merangkak naik mencapai suatu tujuan yg mulia.


Esensi kaderisasi sebagaimana terjelaskan sebelumnya, seterusnya menjadi dasar dari urgensi kaderisasi dalam suatu organisasi. Bahwa keniscayaan kaderisasi pada setiap organisasi tidak lagi dapat ditentang.


Poin penting dari urgensi kaderisasi bagi semua organisasi dan organisasi mahasiswa secara khusus, terletak pada fungsi kaderisasi itu sendiri. Selain substansi, beberapa fungsi dari kaderisasi ialah rekruitmen, pembentukan, sampai pada penggambaran aktualisasi potensi individu yang dipandang sebagai subjek berpikir, berkesadaran, dan bertanggung jawab.


Kaderisasi sebagai bagian integral dari pendidikan, sangat bergantung pada paradigma yang kemudian menjadi kanalisator dari berlangsungnya kaderisasi. Sebagaimana T. Kuhn, memahami paradigma sebagai sesuatu yang akan diperoleh dari pengujian perilaku individu-individu masyarakat ilmiah yang telah ditentukan sebelumnya dan dipakai sebagai keseluruhan konstelasi keyakinan, nilai, teknik, dan lain-lain yang telah dilakukan oleh anggota masyarakat yang diakui.


Secara sederhana bermaksud sebagai pandangan dasar tentang pokok bahasan ilmu. Urgensi paradigma dalam proses pendidikan terletak pada fungsi yang dapat diberikan yaitu, memberi gambaran tentang apa yang akan diperoleh untuk semua hal yang dilakukan secara sengaja. Terkhusus kaderisasi, maka paradigma yang digunakan menjadi penentu bagaimana seorang kader terbentuk. Tentunya paradigma ini tidak boleh bertentangan dengan sistem nilai yang dianut oleh kelompok, tempat dimana dirinya menjadi subjek berpikir.


Kemudian melihat situasi global dimana kapitalisme mulai mendominasi banyak sistem dalam kehidupan bermasyarakat, kemajuan teknologi yang menawarkan banyak informasi dan cenderung mengarahkan proses berpikir menjadi bias nilai, sehingga mendesak peradaban menerima nilai-nilai liberal.


Akibatnya, konstruksi generasi penerus yang terjadi tidak lagi sesuai dengan kehendak pancasila yakni gotong royong. Dominasi kapitalisme ini memunculkan pihak-pihak "radikal" atau "kiri", yang pada dasarnya menganut sistem nilai tersendiri yang ditujukan untuk menentang ekspansi paham kapital namun tidak sejalan dengan apa yang dikehendaki pancasila. Hal tersebut mengancam keutuhan nilai persatuan dan kesatuan sebagai kelompok masyarakat berbangsa dan bertanah air yang sama.


Berbagai implikasi yang dinilai buruk dengan pancasila sebagai acuannya, haruslah dipikirkan secara radikal untuk memberikan tandingan yang setara demi menyelamatkan generasi-generasi pelanjut. Tidak hanya putus di organisasi mahasiswa, seorang kader memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab atas masa depan negara. Oleh karena kader-kader yang diberi perlakuan, ditanamkan kepadanya nilai-nilai untuk membentuk karakter ideal dari seorang subjek berpikir dan berkesadaran. Kader ideal yang berkemampuan menjawab tantangan global secara ideologis maupun akademis.



Penulis. Miopinus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar