PANGGIL AKU APEL MERAH

Oleh : Sudi Purnama

 

Pukul 14.17 WIB, aku melewati sebuah gang di daerah Pasar Seninan. Aku memilih memutar mobilku ke kiri daripada belok kanan ke arah gedung baru milik pemerintah kota ini. Aku melaju lurus. Hampir tak ada yang berubah dari jalan ini. Sejak dua tahun aku pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan kuliah magisterku di sana, sama sekali aku belum pernah melewati jalan yang pernah menjadi favorit. Berjalan kaki di trotoar di antara penjual-penjual buah yang cukup panjang dan bermacam distro di seberang jalan. Ramai dan hampir menyerupai suasana pasar seninan yang baru saja aku lewati. Dua tahun. haha.


Ketika aku sekolah, setiap pagi dan sore, setiap berangkat dan pulang sekolah aku lewat di jalan ini. Kecuali hari Minggu. Jl. Sidingkap no. 47. Nama tersebut diambil dari nama tokoh lokal di daerah ini. Aku sering menghabiskan malam-malam di tempat ini bersama kawan-kawan kos-ku. Di lapak Pak Sabar dan Bu Zubaida. Pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak. Mereka menjual buah-buahan pada siang hari, tepat di depan sebuah toko buah milik lelaki Cina di seberang jalan. "Ya, di sinilah tempatnya." Batinku.


Tapi hari ini lapak itu kosong. Apa mungkin mereka sedang pulang kampung? Tidak biasanya mereka pulang kampung di pertengahan tahun. Mungkin mereka ada keperluan keluarga. Aku juga memperhatikan toko buah di depannya, di seberang jalan, milik lelaki Cina itu, tutup. Tulisan nama tokonya di baliho yang tergantung juga sudah nampak pudar. Sepertinya lama tidak ditempati. Tempat itu memberikanku banyak kenangan. 


Aku jadi teringat Laila. Gadis manis dengan alis tebal menyerupai peranakan negara Arab. Wajahnya meneduhkan. Ah, haha... Kenapa aku tiba-tiba ingat dia? Laila. "Awas! uh!" Hampir saja mobilku menabrak perempuan yang mau menyebrang. Jantungku berdebar. Pikiranku tak tenang. Namun dengan cepat aku ambil nafas dan melepaskannya. Aku mulai tenang. Beginilah kalau nyetir mobil tidak fokus. Ada saja yang bakal terjadi. Bukankah ketidak fokusan seperti ini yang kadang membuat orang kecelakaan. Bukan hanya dalam soal menyetir, tapi dalam keadaan dan apapun itu kita harus fokus. Dan kali ini, aku tidak fokus karena ingat Laila. "Laila...," desisku di dalam hati.


Tak ada yang tahu hubunganku dengan Laila, selain Badar, Karib dan Saji teman kos-ku. Tentunya Ummu, teman akrab Laila. Di sekolah kami juga jarang bertemu. Dia anak IPA. Aku IPS. Cukup jauh jarak kelas kami. Tapi aku tak habis akal untuk memberikan Laila kejutan-kejutan kecil, agar hatinya berbunga rindu. Setiap hari Rabu, aku membawakan dia apel merah yang aku beli dari Pak Sabar. Kadang dua buah apel merah, kadang tiga. Bahkan pernah satu buah sengaja saya belah jadi dua. Sebelah untuk Laila. Sebelahnya lagi untukku. Tak ada alasan khusus kenapa aku memilih hari Rabu. Bukan karena hari Rabu adalah hari lahirku. Bukan juga karena hari Rabu adalah hari pertama kita jadian. "Rabu diserap dari bahasa Arab yang artinya empat. Rukun nikah ada empat. Dan menikah merupakan merupakan satu-satunya pembuktian cinta yang sesungguhnya. Aku mencintai Laila, jadi, aku akan menikahinya." Begitu aku berkelakar menjawab ketika teman-temanku bertanya tentang alasan hari rabu, disambut tawa mereka.


Laila tidak pernah tidak menerima apel merah pemberianku. Bahkan dia juga hafal dimana aku membelinya. Pernah sepulang sekolah aku mengajak dia ke tempat Pak Sabar. Sore gerimis itu, menahan kami untuk lama berada di lapak Pak Sabar. Kami bertiga, Pak Sabar, Laila dan aku, terlibat percakapan yang amat renyah sekali. Pak Sabar pengalaman betul soal kehidupan anak muda. Mula-mula dia bercerita saat pertemuan pertamanya dengan perempuan yang hingga sekarang menemaninya. Sampai pada satu peristiwa, yang membuat istrinya harus menanggung keguguran. Tabrak lari. 


"Tapi sebagai lelaki, Dik,..." Pak sabar mengarahkan ucapannya padaku. "Lelaki harus siap menanggung segala risiko jika sudah bersumpah mencintai seorang perempuan di atas sebuah pernikahan. Apapun yang terjadi. Harta, martabat dan kesetiaan harus dijaga. Apapun ya, harus sabar menghadapinya. Kalau aku ya selalu sabar. Namanya saja sudah Sabar." Sambungnya dengan tertawa sambil memilihkan buah apel.


"Kira-kira ya, Pak. Apakah kami cocok jadi suami istri?" Gurauku pada pak Sabar. Aku lihat Laila tersenyum malu. Wajahnya meneduhkan. Aku beruntung memiliki dia. Gadis manis dengan lesung pipi. Lelaki mana yang tidak akan tertarik padanya?

"Bisa iya, bisa tidak." Jawab singkat pak sabar.

"Loh, kenapa begitu, pak?" Kukejar dengan pertanyaan. Pak sabar menghentikan tangannya memilih apel. Aku ditatapnya berwibawa. Tampak rona seorang bapak muncul dari wajahnya.


"Hidup ini adalah rahasia, dik. Yang kita jalani hari ini belum tentu akan kita bawa ke masa depan. Kadang kita akan diuji dengan kehilangan. Kadang pula, kita diberkati dengan adanya ketabahan. Di situlah nilai kita akan dilihat oleh yang Maha Kuasa. Berjodoh atau pun tidak, kalian harus tetap bersyukur. Kalian pernah saling kenal, saling sayang, dan tentunya kalian sudah merasakan apel merah, Bapak." Pak sabar tersenyum. Aku dan Laila tersenyum manggut-manggut.


"Bapak dik, sudah tiga puluh tiga tahun kesepian. Betapa merindukan kehadiran seorang anak, penyejuk jiwa. Kesepian itu Bapak bagi berdua dengan istri Bapak. Lebih-lebih istri bapak, kadang dia merasa paling bersalah karena kecelakaan itu, tiada henti berdoa dan berbesar harapan. Sebab kami yakin, walau pun usia kami sudah tua, suatu hari nanti akan dikarunia anak. Haqqul yakin, kami percaya, hikmah dari al-qur’an yang mengisahkan kisah nabi Zakariya yag dikarunia putra disaat usia beliau yang konon sudah delapan puluh tahun itu. Kisah itu adalah ibrah bagi kami." Imbuh Pak Sabar dengan hati lapang. Gerimis usai. Kami pamit pulang. Tak lupa Pak Sabar memberikan apel merah cuma-cuma kepada kami. Katanya sebagai sedekah.


Sudah pukul 14.55. Aku membawa mobilku ke jalur kiri. Aku parkir di depan sebuah warung. Perjalananku menuju rumah masih satu jam lagi. Sebelum itu, ada baiknya kalau aku mengisi tenaga dulu. Perut sedari tadi berteriak. Tapi, sungguh pucuk dicinta ulampun tiba. Ini nyata. Aku bertemu Karib, kawan kos-ku dulu. Dia sudah selesai makan dan hendak keluar. Aku tahan dia. Aku jabat tanganya. Aku cerca dia dengan pertanyaan sekenanya. “Subhanallah, Karib. Tiada disangka, kita dipertemukan di sini.” desisku lirih.


“Masih suka beli apel merah?” Tanya Karib setengah bercanda. Aku tidak terkejut. Tapi aku tidak bisa menahan bahagia. Aku tidak langsung menjawab pertanyaan dari Karib. Aku balik bertanya keadaan Pak Sabar. Wajah Karib berubah serius mendengar nama Pak Sabar. Aku jadi tambah penasaran. Adakah hal ihwal yang terjadi pada lelaki yang sangat merindukan kehadiran seorang anak itu? Karib memulai cerita. Katanya, Pak Sabar sudah meninggal. Inna lillah! “Menjelang magrib, Pak sabar dibacok orang tak dikenal. Tiga luka di tubuhnya, mengantarkan dia pada kematian.” Karib mempertegas.


Aku tak bisa membayangkan darah merembes dari tubuh Pak Sabar. Bau amis dan merah pekat. Aku juga tak bisa membayangkan, seorang Pak Sabar yang sabar itu, baik, suka menolong, duh iblis mana yang berbuat laknat itu. Tega nian mengahabisi orang sebaik Pak Sabar. “Kurang ajar.” Pekikku.

“Usut punya usut, setelah empat belas hari masa penyelidikan, polisi berhasil meringkus pelaku. Ternyata pelakunya adalah pemilik toko buah di depan lapak jualan Pak Sabar, lelaki Cina itu.” Terang Karib meyakinkan. Aku mengangguk. “Kata polisi, motif pembacokan itu adalah rasa iri hati. Lantaran buah-buahan Pak Sabar lebih laris dari pada milik lelaki Cina itu.” Imbuhnya. Sejak itu kata Karib sebelum pamit pergi karena masih harus ke rumah sakit menjenguk keluarganya, istri Pak Sabar berhenti jualan. Dia pulang kampung. Sementara, toko buah milik lelaki Cina itu ditutup oleh pihak polisi untuk menghindari kejadian berulang. 


Aku tak habis pikir. Takdir yang menimpa Pak Sabar begitu mengenaskan. Semoga yang Maha Bijaksana menerima segala amal baiknya. Cerita Karib masih sangat terasa sampai aku selesai makan. Sampai aku masuk ke mobil. Sampai aku melaju lurus untuk pulang. Mobilku berbelok dan berpapasan dengan mobil truk pengangkut balok-balok kayu. Untung saja, jalan antar kecamatan menuju rumah sudah beraspal. Baunya pun masih hangat tercium. Tidak seperti jalan-jalan yang disiarkan di tivi-tivi. Bahkan ada masyarakat bersama mahasiswa sampai demonstrasi menagih pemerintah memperbaiki jalan beraspal di daerahnya. 


Mobilku menuruni jalan yang tak curam. Setelah melewati jembatan bayangan Laila menyusul ke dalam pikiran. ah Gadis itu, ada di mana sekarang? Ini bukan rasa kangen, melainkan tiba-tiba saja tanpa diundang nangkring di kepalaku, menyertai perjalanan pulangku ke rumah. Terakhir kali aku bertemu Laila, sepekan setelah kelulusan sekolah. Semula, aku tidak menyangka ini bakal terjadi. Saat itu, di kantin sekolah, tiada siapa, hanya kami berdua. 


“Kau kenapa, Laila, akhir-akhir ini terlihat berbeda?” aku buka percakapan dengan melempar tanya. “Rabu kemarin kau tidak masuk sekolah. Terpaksa aku berikan apel merah yang kubawa untukmu ke Bu Amina, guru piket yang sering godain kita itu.” Aku coba menelisik ke dalam diamnya.


“Malam ini aku harus pulang, Ka. Ke Balikpapan. Terkesan mendadak. Tapi ayahku sudah menyiapkan segala sesuatunya. Ada acara keluarga yang penting katanya.” Jawab Laila menunduk. Kemudian menatapku melempar senyum. Manis dan tidak ada yang berubah. “Jaga diri baik-baik, Ka, selama aku pergi. Titip salam pada Karib, Badar dan Saji.” Laila menyodorkan bungkusan yang berisi apel merah seraya pamit pulang duluan. Sejurus aku sendirian. Clingukan. Menunggu kawan-kawan kos-ku selesai dari ruang guru untuk konsultasi kuliah.


Malam itu, dari kamar kos, aku mengira-ngira Laila sudah sampai di bandara. Bahkan sudah setengah jam di atas pesawat. Dari Bandara Juanda Surabaya ke Bandara Balikpapan. Semoga Tuhan yang Maha Baik menjaga perjalanannya dengan keluarganya. Aku lihat bungkusan dari Laila masih mengonggok di atas meja. Aku raih. Aku buka. Tujuh apel merah masih matang-matangnya. Aku ambil satu, dan.... ”Surat?” pikirku heran. Apa maksud Laila menyelipkan surat ini? Aku buka surat itu dan aku tidak pernah menduga sebelumnya. Pada saat itu aku langsung teringat pesan Pak Sabar bahwa hidup adalah rahasia. Dan saat ini, aku menjadi bagian rahasia itu, bersama surat yang ditulis Laila:

 Kailani, lelakiku yang tiada pernah berdusta.


Apel-apelmu telah habis kumakan serta seluruh rindu yang sering kau ucapkan melalui puisi yang dimuat di majalah sekolah kita. Ka, aku minta maaf. Aku pulang ke Balikpapan. Aku akan menikah dengan lelaki pilihan kedua orang tuaku, besok pagi. Tiada harapan paling aku ingin saat ini, selain melihat kebahagiaan di mata kedua orang tuaku. Tiada maksud mematahkan hatimu dari awal sampai hari ini. Melainkan rasa abdiku terhadap kedua orang tua. Bukankah kita sering membicarakan akan membahagiakan orang tua? mungkin ini saatnya bagiku, Ka. 


Dan tentang kita, mungkin sudah rahasia yang Maha Kuasa kita tiada berjodoh. Aku perempuan yang mudah menangis. Untuk itu aku tulis surat ini karena aku tidak ingin menagis di hadapanmu. Aku tahu, itu hanya akan membuatmu bingung dan cemas. Semoga kau paham, Ka. Semoga kelak, kau menemukan perempuan yang menyejukkan jiwamu, meneduhkan hari-hari. Salam maaf, Laila.


Bangkalan, 2013.


 Dadaku hampir sesak membaca kenyataan itu. Hampir aku tidak percaya. Tapi aku harus percaya. Ternyata aku kehilagan seorang yang kucinta. Aku kehilangan orang yang sering memanggilku Si Apel Merah. “Ya, aku kehilangan Laila.” Sesalku membatin.


Pukul 15.30, aku sudah melewati gapura kampungku. Tujuh menit lagi sampai di rumah. Tak sabar rasanya ingin mencicipi masakan ibu. Aku lupa bawa oleh-oleh untuk si kecil, adik perempuanku yang mulai belajar berbicara. Sepanjang perjalanan aku hanya disibukkan memungut kenangan yang tercecer dari masa lampauku. Aku pulang, bu. Sendirian. Tanpa kekasih tanpa calon menantu. Jikalau nanti, ibu bertanya kapan aku akan menikah, aku sudah menyiapkan jawabannya. Singkat dan puitis: Iya, Ibu, aku akan menikah dengan perempuan yang akan kubawa ke rumah ini.


Selesai_

ليست هناك تعليقات:

إرسال تعليق