“Odong-odong”


 


Si odong sedang merencanakan piknik liburan musim panas. Mulai dari ongkos, bekal makan dan minuman, kendaraan, tukang tambal ban, sampai uang parkiran. Karl Marx menempatkan status si odong sebagai kaum Proletar, kaum kelas bawahan yang di marjinalkan. Jawab si odong, “biarlah hari ini saya diinjak kebijakan atasan, suatu saat nanti saya akan masuk organisasi yang mengajarkan penginjakan terhadap kekuasaan”, ngebatin kodok ajaib di samping si odong, “alah, untuk apa ikut begituan jika dirimu masih dibelenggu kebodohan, disana hanya akan diajari caranya memakai topeng kemunafikan. Apalagi orang-orang sepertimu, pasti ujung-ujungnya koar-koar di atas trotoar padahal buta penghayatan”.


Berangkat lah si odong piknik. Awalnya naik motor pribadi tapi karena beberapa pertimbangan malah memilih mobil angkutan, ‘Dasar plin-plan”, kata orang-orang. Bisa ditebak, orang seperti si odong lebih memilih angkutan rongsokan, asal bisa ditumpangi yang penting uang saku tidak terbebani. Berbisik sopir angkutan di telinga odong, “tak penting seberapa bagus kendaraan yang penting banyaknya orang di dalamnya, karena kemenangan ditandai banyaknya suara kebisingan”.


Di Situbondo, kendaraan angkutan ini dikenal sebutan odong-odong. Biasanya dijadikan transportasi mengangkut tanah dan juga sapi-sapi sawah. Sesuailah nama tokoh dan kendaraannya, Karena tak mungkin si odong bisa naik mobil Mitsubishi apalagi mercy. Kendaraan rongsokan jalannya pun cengengesan, sudah ditegur bagian belakang bunyi tikus kelayapan tapi si sopir malah membentak dan menyuruh menikmatinya. Ah sudahlah, biarkan si odong belajar menikmati kesedihan, toh “munafik demi kebaikan itu baik loh” kata pak pendeta.


Ditengah perjalanan, karena lelah haus dan lapar si odong berimajinasi, kendaraan yang ditumpanginya seperti organisasi impiannya, “mobil jelek isinya orang-orang jelek, mobil bengek isinya orang-orang bengek. Yang bengek mobilnya? Atau pemiliknya? Padahal pertama beli pasti bagus. Kenapa pemiliknya membiarkan mobilnya tak karuan? Apa sebab si pemilik yang akan ditumpangi orang-orang miskin? Atau otaknya sendiri yang miskin?”. Berawal dari imajinasi sampai timbulnya pertanyaan-pertanyaan iseng yang kebanyakan orang menghiraukan, padahal ini berkaitan dengan kondisi lingkungan bangsa. Polusi dan macetisasi kebanyakan sebab kendaraan tak layak uji kompetensi.


Ternyata, odong-odong dilarang masuk wilayah perkotaan, hanya di bolehkan menuju tempat keramaian yang jauh dari pendidikan. Nuansanya seni melepas topeng pengetahuan sehingga nampak orang-orang telanjang dada dan wacana. Disitulah si odong dihargai, diistimewakan, dunia komedi korban perpolitikan. Dasarnya adalah bahagia dengan kesederhanaan tapi hasilnya sederhana tanpa kebahagiaan.


Begitulah kira-kira cerita si odong dan odong-odong. Sikap odong yang perlu diubah malah takdir bertemu orang yang juga perlu diubah. Jadi bingung deh, siapa dulu yang mau diubah. Dan akhirnya memilih pasrah dan diam menjadi warisan. 


Izzati_kie

Bangkalan, 24 Desember 2021 

ليست هناك تعليقات:

إرسال تعليق